Rabu, 12 Mei 2010

membumikan ekonomi syariah di indonesia

Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia
Sejarah pergerakan ekonomi Islam di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1911, yaitu sejak berdirinya organisasi Syarikat Dagang Islam yang dibidani oleh para entrepreneur dan para tokoh Muslim saat itu. Bahkan jika kita menarik sejarah jauh ke belakang, jauh sebelum tahun 1911, peran dan kiprah para santri (umat Islam) dalam dunia perdagangan cukup besar. Banyak penelitian para ahli sejarah dan antropologi yang membuktilan fakta tersebut. Dalam buku Pedlers and Princes, (1955), Clifford Geertz, antropolog AS terkemuka, menyatakan bahwa di Jawa, para santri reformis mempunyai profesi sebagai pedagang atau wirausahawan dengan etos entrepreneurship yang tinggi. Sementara dalam buku “The Religion of Java” (1960), Geertz menulis, “Pengusaha santri (muslim) adalah mereka yang dipengaruhi oleh etos kerja Islam yang hidup di lingkungan di mana mereka bekerja. Fakta ini merupakan hasil studi, Clifford Geertz, dalam upaya untuk menyelidiki siapa di kalangan muslim yang memiliki etos entrepreneurship seperti “Etik Protestantisme”, sebagaimana yang dimaksud oleh Max Weber. Dalam penelitian itu, Geertz menemukan, etos itu ada pada kaum santri yang ternyata pada umumnya memiliki etos kerja dan etos kewiraswastaan yang lebih tinggi dari kaum abangan yang dipengaruhi oleh elemen-elemen ajaran Hindu dan Budha.
Dapatlah dikatakan perkembangan ekonomi syariah yang marak dewasa ini merupakan cerminan dan kerinduan ummat Islam Indonesia untuk kembali menghidupkan semangat para entrepreneur muslim masa silam dalam dunia bisnis dan perdagangan, sebagaimana juga menjadi ajaran Nabi Muhammad Saw dan sunnah yang diteladankannya kepada umatnya. Dalam masa yang panjang peran umat Islam dalam dunia bisnis dan perdagangan di Indonesia cendrung termarginalkan. Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia mulai mendapatkan momentumnya untuk tumbuh kembali, semenjak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992, setelah mendapat legitimasi legal formal dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dua tahun setelah BMI berdiri, berdiri pula Asuransi Syariah Takaful di tahun 1994. Berbarengan dengan itu, tumbuh pula 78 BPR Syariah. Pada tahun 1996 berkembang pula lembaga keuangan mikro syariah BMT. Namun Lembaga Perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi syariah masih sangat langka. Tercatat, IAIN-SU Medan menjadi Perguruan Tinggi pertama di Indonesia yang membuka Program Studi D3 Manajemen Bank Syari’ah sebagai hasil kerja Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam (FKEBI) yang lahir tahun 1990 sebagai realisasi kerjasama dengan IIUM Malaysia. Tazkia, SEBI dan STIE Jogyakarta belum berdiri saat itu.

Setelah terjadi krisis 1997, hampir seluruh bank konvensional dilkuidasi karena mengalami negative spread, kecuali bank yang mendapat rekap dari pemerintah melalui BLBI dalam jumlah besar mencapai Rp 650 triliun. Bank-bank konvensional itu bisa diselamatkan dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Krisis tersebut membawa hikmah bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No 7/1992. Pasca UU tersebut sejumlah bank konversi kepada syariah dan membuka unit usaha syariah. Perkembangan itu selanjutnya diikuti oleh lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah. obligasi syariah, pegadaian syariah dan sebelumnya telah berkembang lembaga keuangan mikro syariah BMT.

Dari perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syariah tersebut perlu dicatat. Pertama, bank syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya dalam masa krisis moneter. Ketika bank-bank konvensional mengalami likuidasi, bank syariah dapat bertahan, karena sistemnya bagi hasil, sehingga tidak wajib membayar bunga pada jumlah tertentu kepada nasabah sebagaimana pada bank konvensional. Kedua, pemerintah telah mengorbankan kepentingan rakyat untuk membantu bank-bank raksasa agar bisa bertahan dengan BLBI yang disusul dengan pembayaran bunga obligasi dan SBI dalam jumlah ratusan triliunan rupiah. Secara ekonomi kenegaraan, Bank-bank konvensional ribawi sesungguhnya adalah parasit bagi perekonomian negara, karena bank riba tersebut telah menguras dana APBN setiap tahun dalam jumlah yang sangat besar. Ketiga, bank-bank syariah sepeserpun tidak dibantu pemerintah, sementara bank konvensional telah menguras kocek keuangan negara mencapai Rp 650 triliunan. Keempat, NPL (kredit bermasalah) bank-bank konvensional sangat tinggi, di atas 20 %. Bahkan NPL bank terbesar mencapai 24 %. Jauh dari ketentuan Bank Indonesia yakni 5%, Sementara NPL bank syariah sangat kecil, sekitar 2 % an. Ini menunjukkan keunggulan bank syariah. Kelima, FDR bank syariah senantiasa tinggi, dalam masa yang panjang bertengger di atas 100 %. Ini menunjukkanbahwa dana pihak ketiga bersifat produktif/diinvestasikan kepada usaha masyarakat. Sementara bank konvensional cukup lama bertengger di angka 30-40 %. Walaupun kini LDRnya di atas 50-60 % namun secara riil, fungsi intermediasinya masih sangat rendah. Hal ini sekaligus menjadi beban negara, karena penempatan dananya di SBI meniscayakan bunga. Membayar bunga SBI tetap menjadi beban rakyat Indonesia yang mayoritas miskin.

Berdasarkan kinerja bank-bank syariah dan lembaga keuangan syariah yang sangat bagus, sementara lembaga-lembaga perbankan konvensional telah mendatangkan mafsadat dan mudarat dengan sistem riba, maka menjadi keniscayaan bagi bangsa Indonesia untuk menjadikan ekonomi Islam sebagai solusi ekonomi Indonesia untuk kelujar dari krisis dan lebih resistenm dalam menghadapi gejolak krisis.
Sistem ekonomi ribawi bersama perangkat-perangkatnya berupa maysir, gharar dan batil, telah terbukti membawa penderitaan yang memilukan bagi bangsa Indonesia. Sehubungan dengan itu upaya pembumian ekonomi syariah menjadi sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan. Sehubungan dengan itu, perlu diperhatikan. Pertama, peranan pemerintah menjadi penting, tidak saja dari segi regulasi dan legal formal, tetapi juga keberpihakan yang riil kepada lembaga perbankan dan keuangan syari’ah dalam kebijakan ekonomi dan pembangunan, seperti suntikan modal, pembiayaan proyek pembangunan, tabungan dan setoran haji, pendirian Asuransi dan Bank BUMN Syariah, dsb. Kedua, Harus diakui bahwa, pembumian ekonomi syariah, tidak hanya bisa bergantung pada lembaga keuangan syariah itu sendiri, tidak juga hanya bergantung pada peran pakar seperti IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam), tetapi semua steakholder harus bekerjasama dan bersinergi secara solid, sistimatis dan terencana baik pemerintah, ulama, parlemen (DPR/DPRD), perguruan tinggi, pengusaha (hartawan muslim), ormas Islam dan masyarakat Islam pada umumnya. Mereka harus bersinergi melakukan berbagai upaya terobosan untuk mempercepat perkembangan ekonomiah. Ketiga, Sosialisasi dan edukasi masyarakat tentang ekonomi syariah harus terus-menerus dilakukan, karena tingkat pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang ekonomi syariah masih sangat rendah. Di sinilah peran strategis Indonesia Syariah Expo (ISE) yang digelar oleh Masyarakat Ekonomi Syariah bersama elemen-elemen Ekonomi Syariah lainnya, seperti DSN, IAEI, PKES dan ASBISINDO.
ISE diharapkan menjadi ajang promosi ekonomi syariah paling akbar bagi lembaga perbankan, keuangan serta segala bentuk bisnis syariah.
Selain itu, momentum ISE diharapkan menjadi sarana perekat silaturrahmi produktif dan aliansi strategis bagi para praktisi, akademisi, ulama dan pemerintah dalam mempromosikan dan membumikan ekonoimi syari’ah di Indonesia. Untuk itulah MES menggelar MUNAS Pertama pada momentum tersebut yang mengambil tempat di arena ISE tersebut. Selain itu Ikatan Ahli Ekonomi islam IndonEsia juga menggelar Forum Silaturrahmi Nasional pengurus IAEI untuk membicarakan berbagai agenda penting, antara lain Arsitektur Ekonomi Syariah Indonesia yang akan segera diserahkan kepada Presiden dan Wapres RI.
Refrensi :
www.bing.com
blogger.Agustianto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar